Apa pun makanannya, tampaknya es teh manis selalu menjadi pilihan minuman yang tepat. Banyak alasan yang membuat minuman sederhana ini jadi begitu nikmat di lidah masyarakat Indonesia. Mulai dari menyegarkan, manis, hingga minuman pelepas dahaga yang murah-meriah.
Apa pun makanannya, tampaknya es teh manis selalu menjadi pilihan minuman yang tepat. Banyak alasan yang membuat minuman sederhana ini jadi begitu nikmat di lidah masyarakat Indonesia. Mulai dari menyegarkan, manis, hingga minuman pelepas dahaga yang murah-meriah.
Namun, kemudian, Belanda tertarik dengan keindahan dan kesuburan tanah Jawa serta Sumatera. Sehingga pada saat itu, tepatnya abad 17 atau sekitar tahun 1600-an, Belanda membawa tanaman teh ke Batavia (Jawa) melalui Pantai Sukabumi. Di sana, ditanamlah tanaman teh yang kemudian menurut ajaran bangsa India, sangat cocok dikembangkan di Jawa Barat.
Pada abad tersebut, berdirilah 131 perkebunan teh. Di abad yang sama, berkembang pula perkebunan teh di wilayah Indonesia lain; yakni di Sumatera Selatan. Namun, perkebunan teh di Sumatera jumlahnya tak sebanyak di Jawa Barat.
“Karena mereka mengembangkan teh secara ekstensif di Jawa Barat, maka sebetulnya yang lebih dulu secara ekstensif minum teh di Indonesia itu, ya orang Jawa Barat, yang akhirnya menyebar ke Sumatera, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” terang Prof. Mur, panggilan akrabnya, saat kumparan hubungi melalui sambungan telepon, Rabu (20/1).
Penduduk pribumi membuat teh dari sisa batang yang sudah menjadi sampah
Berkembang pada masa penjajahan, membuat masyarakat pribumi hanya bisa menikmati teh dari hasil ekstrak batangnya saja. Sementara daun teh menjadi komoditi ekspor yang saat itu dinilai menguntungkan.
“Jadi, kita itu selalu diperlakukan seperti itu. Meski terbuat hanya dari sisa batang teh yang sudah menjadi sampah, masyarakat Sunda bisa menikmatinya dengan baik. Mereka tak perlu beli, jadi air teh atau dalam bahasa Sunda cai teh itu diberikan secara percuma. Itulah kenapa teh tawar panas bisa gratis kalau di rumah makan Sunda. Tapi, kalau di tempat lain harus bayar, karena memang masyarakatnya tak terdidik untuk minum teh,” tambahnya.
Perlahan pun, masyarakat Indonesia mulai menguasai cara mengolah teh. Khususnya masyarakat Jawa Tengah, memilih mengolah teh menjadi sajian teh hijau; karena untuk membuat teh hitam membutuhkan proses fermentasi. Sedangkan teh hijau, hanya perlu mengeringkan dengan cara menyangrai daunnya saja. Prosesnya lebih sederhana.
Uniknya, Prof. Murdijati mengatakan, bahwa masyarakat Jawa Tengah begitu kreatif. Mereka berhasil memadukan teh dengan bunga melati. Sehingga kita mengenalnya kini dengan sebutan teh wangi atau jasmin tea dalam bahasa Inggris.
Pada saat itu pula, di Jawa Tengah telah berkembang komoditas tebu yang sukses ditanam oleh orang Belanda. Tebu belum menjadi gula pasir seperti sekarang, melainkan diminum airnya begitu saja.
Namun, Belanda berhasil mengembangkan komoditas tebu dengan mendirikan pabrik gula, yang menurut Prof. Murdijati ada puluhan jumlahnya; di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, di Pasuruan mereka mendirikan laboratorium untuk mengembangkan program pemulihan tebu; artinya tebu dipilih jenisnya yang paling baik, lalu istilahnya ‘dimuliakan’ untuk hasilnya menjadi gula pasir bernilai tinggi. Gula tebu dengan kualitas baik pun diekspor.
Lagi-lagi, masyarakat Nusantara hanya boleh menggunakan gula pasir kualitas ketiga (terendah) yang memiliki ciri butiran kecokelatan. Sejak saat itu, masyarakat mengenal gula pasir. Namun jauh sebelum itu, masyarakat kita sudah mengonsumsi secara turun-temurun gula kelapa dan aren.
“Karena di Jawa Tengah pabrik gula banyak sekali, maka masyarakatnya lebih mudah jangkauannya untuk mengonsumsi gula pasir daripada daerah lain. Termasuk untuk minum, sehingga timbulah kombinasi ekstrak teh wangi dengan gula pasir sebagai minuman di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ucap perempuan yang sudah melakukan penelitian tentang makanan di Indonesia sejak 2003 itu.
Menjadi faktor lain, Prof. Murdijati turut mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa kemampuan tinggi merasakan cita rasa manis yang secara fisiologis telah dimiliki masyarakat Jawa sejak lama. Itulah yang membuat, khususnya masyarakat Jawa dan Sumatera, kebanyakan menyukai makanan manis.